Selasa, 24 Oktober 2017

PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
A. Undang-Undang PPN
    UU No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah diubah oleh UU No 18 tahun 2000, sebagai dasar hukum PPN adalah tetap UU No. 8 tahaun 1983 yang dalam pasal 20 nya ditentukan bahwa UU ini dapat disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nialai 1984 dan saat ini telah diubah menjadi UU No. 42 Tahun 2009.

B. Karakteristik PPN
    1. Pajak TIdak Langsung
    2. Pajak Objektif
    3. Pajak Atas Konsumsi Dalam Negeri
    4. Bersifat Multi Stage Levy (dikenakan pada setiap jalur distribusi        barang/jasa
    5. Perhitungan dengan Indirect Subtraction Method (mengurangkan PPN yang dipungut penjual atas penyerahan barang/jasa dengan PPN yang dibayar kepda penjual lain atas perolehan barang/jasa)
    6. Tarif tunggal

C. Mekanisme PPN
   1. Mekanisme PPN bersifat Umum (Pasal 9 dan 13 UU PPN 1984)      

   a. Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyerahkan (menjual) Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) diwajibkan membuat Faktur Pajak untuk memungut pajak terutang. Pajak yang dipungut dinamakan Pajak Keluaran/PK (Output Tax). Hal ini sesuai dengan basis akrual (Accrual Bassis) yang digunakan oleh UU PPN 1984.
    b. Pada saat Pengusaha Kena Pajak tersebut diatas membeli barang kena pajak atau menerima jasa kena pajak dari pengusaha kena pajak lain , juga membayar pajak yang terutang, yang dinamakan Pajak Masukan/PM (Input Tax)
    c. Pada akhir masa pajak, pajak tersebut di kreditkan dengan pajak keluaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari pada Jumlah Pajak Masukan , maka kekurangannya dibayar ke kas negara paling lambat  akhir bulan berikutnya. (PK>PM=KURANG BAYAR)
    d. Apabila Jumlah Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran, maka kelebihan pembayaran pajak masukan ini dapat dikompensasikan dengan utang pajak dalam masa pajak berikutnya atau diminta kembali (restitusi). (PM>PK=LEBIH BAYAR)
    e. Pada akhir masa pajak, setiap Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan pemungutan dan pembayaran pajak yang terutang kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat, selambat-lambatnya akhir bulan berrikutnya. 


   2. Mekanisme PPN bersifat Khusus (Pasal 16A UU PPN Tahun 1984)
     a. Instansi pemerintah, badan atau orang yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN
    b. Pengusaha Kena Pajak yang Menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pmungut PPN, wajib membuat Faktur Pajak.
    c. Pada saat pemungut pajak tersebut melakukan pembayaran Harga Jual/Pengganti,"memungut" pajak yang terutan, kemudian menyetorkan dengan menggunakan Surat setoran Pajak (SSP) atas nama Pengusaha Kena Pajak (PKP) terebut pada butir (b) dan melaporkan kepda KPP setempat.
    d. SSP tersebut pada butir (c) kemudian diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.

D. Tarif PPN (Pasal 7, Pasal 1 angka 26 dan Pasal 8A)
   1. Tarif PPN adalah 10%
   2. Tarif PPN atas Ekspor Barang Kena Pajak 0% (Nol Persen)
   3. Dengan peraturan pemerintah, tarif pajak sebagai mana dimaksud dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%.

E. Objek PPN 
   1. Penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) didalam daerah pabean yang dilakukan oleh perusahaan.
   2. Impor Barang Kena pajak (BKP).
   3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
   4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
   5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
   6. Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak.
   7. Ekspor BKP tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (UU PPN pasal 4 ayat (1)).
   8. Ekspor JKP oleh Pengusaha Kena Pajak (UU PPN Pasal 4 ayat(1)).

F. Yang termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak
   1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian.
   2. Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing.
   3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru leasing.
   4. Pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma atas BKP. 
   5. Persedian BKP atau aktiva yang menuntut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
   6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang.
   7. Penyerahan BKP secara konsinyasi.
   8. Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dialkukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar